16 Agustus 2009

Kalah Bersaing, Garam Lokal Tak Laku Dijual

Kalah bersaing dengan garam impor, puluhan ribu ton garam krosok hasil produksi petani garam Kab Indramayu menumpuk di gudang-gudang.

Membanjirnya garam krosos impor membuat ribuan petani garam di daerah sentra garam Jabar itu menjerit. Selain garam tidak laku, harganya juga merosot tajam.


Menurut para petani garam, harga garam sekarang 'terjun bebas' tak terkendali. Garam krosok lokal produksi Indramayu hanya dihargai Rp 12,00/kg, itupun harga sudah sampai di gudang alias siap diangkut. Biasanya, pada saat booming produksi garam seperti 7 bulan ini, paling rendah Rp 15,00/kg. Atau kalau dijual langsung diantar ke pembeli di Jakarta dihargai Rp 20,00/kg.

"Sekarang harga di gudang Rp 12,00/kg. Kalau mau jual langsung di di Jakarta, hanya Rp 18,00/kg. Dengan harga segitu, kita rugi besar," tutur H. Suleman (47), salah satu pengusaha garam di Kec Losarang sebagai sentra garam Indramayu.

Pengusaha garam lokal asal Ds Muntur (Losarang) itu mengaku menderita rugi besar. Kerugian juga dialami ratusan pengusaha garam krosok lainnya, termasuk ribuan buruh tani garam yang tersebar di Losarang, Kandanghaur dan Krangkeng dengan luas areal produksi garam mencapai 3.000 ha.

Garam impor Australia, dihargai Rp 34,00/kg. Kendati lebih mahal, karena kualitasnya lebih bagus, konsumen seperti pabrik tekstil, baja, sepatu termasuk industri strategis seperti kilang BBM, lebih tertarik membeli garam krosok impor.(A-93)***

Sumber: http://www.pikiran-rakyat.com/bisnis2.php?id=8592

1 komentar:

Blog Watcher mengatakan...

RAMAH IMPORT UNTUK MEMISKINKAN RAKYAT!!




Demi program ketahanan pangan, tim ekonomi pemerintahan (SBY) Susilo Bambang Yudhoyono menggelontorkan Lebih dari 5 miliar dollar AS atau setara dengan Rp 50 triliun untuk import kebutuhan pangan agar tercukupi kebutuhan pangan nasional.

Komoditas import tersebut meliputi kedelai, gandum, daging sapi, susu, dan gula. Bahkan, garam yang sangat mudah diproduksi di dalam negeri karena sumber dayanya tersedia secara cuma-cuma dari alam tetap masih harus diimpor. Nilai nya cukup fantastis 1,58 juta ton per tahun senilai Rp. 900 miliar.

Dampak kebijakan ramah import ini jelas, mengabaikan pengembangan potensi pangan lokal akibatnya puluhan ribu petani garam di sebagian besar pesisir Nusantara secara perlahan menganggur. Petani yang berlahan sempit harus berhadapan dengan komoditas pertanian impor yang disubsidi besar. Ini sama halnya dengan pemerintah membiarkan ketidakadilan berlaku di negara kita.

Sebagian ahli ekonomi berpendapat, kebijakan ini diambil karena kualitas barang import yang lebih baik dan harga lebih murah. Namun, kebijakan ini akan berdampak berupa kehilangan peluang penyerapan tenaga kerja yang lebih besar dan pengurangan jumlah penganggur tidak akan maksimal. Dengan kata lain kebijakan ramah impor tidak bisa menyubstitusi kebutuhan masyarakat terhadap pekerjaan!!

“Coba bayangkan dengan anggaran 5 miliar dollar AS akan menyerap berapa banyak tenaga kerja!!”

Karena itu, komoditas apa pun yang memungkinkan untuk diproduksi sendiri harus dilakukan secara optimal oleh pemerintah dan semua pemangku kepentingan.